Halaman

Selasa, 19 November 2013

rangga


Rangga
karya : Fauzy Rahmat
fb : Fauzy Rahmat 
 
 
Aku Rangga. Hidup di dunia yang penuh kemunafikan ini membuatku muak, penuh basa-basi membosankan, janji-janji busuk terus mewabah, sengsarakan rakyat lemah. Hukum rimba.
Siapa orang tuaku? Di mana tempat tinggalku? Tak perlu ditanya, mereka telah mati dengan tanganku sendiri. Manusia biadab yang hanya memuja harta. Hadirku seolah sebuah ranjau yang menghalangi jalan mereka. Caci-maki, sumpah serapah yang terlontar dari mulut busuk mereka,adalah makananku sehari-hari. Tak ada kata sesal bagiku, aku merasa hebat melihat mereka menggelepar ria bersama maut. Apa yang kurasakan? Kesenangan tak terkira yang kurasakan saat mengakhiri mereka.
****

Seminggu yang lalu.

"Dasar pelacur!!! Kau anggap apa aku ini, ha?" Maki Ayahku melihat ibu pulang. Ya, seperti itulah setiap pagi yang kutemui. Pertengkaran yang tak berujung, aku hanya mampu mendengar di balik pintu kamar, hingga kemudian aku pergi tanpa pamit ke rumah Rian. Masih kudengar suara mereka saat aku sudah cukup jauh dari rumah. Malu, benci, marah bercampur menjadi satu hidup bersama mereka. Ibu seorang pelacur, sedangkan ayah seorang penjudi dan pemabuk. Hidup dengan mereka bagaikan hidup di dalam neraka.
"Mereka ribut lagi, Ngga?" Tanya Rian.
"Iya, Yan. Aku udah gak sanggup lagi begini terus, aku mau berubah,"
"Apa yang bakal kamu lakuin, Ngga?"
"Aku mau selesain semua ini,"
"Maksud kamu?"
"Aku muak sama mereka, Yan."
"Maksud kamu apa, Ngga? Jangan bilang kamu mau bu ...,"
"Ssstt ... tak usah takut, Yan. Aku lebih memilih hidup sebatang kara daripada harus terus tersiksa bersama mereka,"
"Mereka itu orang tuamu, Ngga. Apa kamu sudah gila?"
"Ya, aku sudah gila, Yan. Aku harap, hanya kau dan aku yang tahu." Aku pun meninggalkannya yang tengah terpana, aku tahu dia tak akan tega membuka mulut. Dia sahabatku.
Kuambil beberapa botol kosong yang bertebaran di sekitar perkampungan kumuh ini, kuhancurkan hingga menjadi bubuk. Pisau berkarat yang kutemukan tak jauh dari sana, kuselipkan dibelakang celanaku. Aku pun menuju rumah, neraka lebih tepatnya.
Seperti biasa, aku masuk seperti angin lalu yang tak dipedulikan. Kulihat ayah duduk termenung dengan 2 botol minuman alkohol berukuran sedang di meja depannya. Aku berdiri dengan menggenggam serbuk kaca di tangan kananku. Merasa terganggu, mata merahnya menatap tajam padaku.
"Mau apa kau anak sialan! Pergi sana!" Bentaknya membuatku semakin geram.
"Kau yang seharusnya pergi, Bajingan!" Sahutku dengan suara meninggi. Dia pun berdiri hendak menamparku. Belum sampai tangannya menyentuhku, kulemparkan sebuk kaca tadi ke matanya. Dia meringis kesakitan, kulihat tangannya yang menutupi matanya itu mulai berdarah.
"Bangsat! Apa yang kamu lakukan?! Dimana kamu, Bangsat?!" Tangannya dipukul-pukulkan ke udara kosong. Tak membuang waktu lama, kusayat perutnya dengan pisau berkarat tadi yang sudah kuasah sedikit. Lalu tangannya kusayat, lengannya, serta lehernya hingga dia ambruk kelantai. Ini bagian akhir yang membuatku bahagia, menancapkan pisau ini ke dadanya, agar dia tahu apa yang aku rasakan selama ini. Dia pun mati di tanganku.

Efek alkohol membuatnya tertidur pulas. Ku ambil balok yang tergeletak di samping rumah, kupukulkan ke perut wanita jalang itu, seketika dia berteriak kesakitan, tak kupedulikan itu. Segera kuhantam mulutnya dengan keras, hingga akhirnya dia menggelepar di atas kasur tipis tempatnya tidur. Kulilitkan kasur itu hingga membungkus badannya yang lemah, dengan brutal ku tancapkan pisau itu hingga kasur kumuh tadi berubah merah. Aku puas, aku senang melihat wajahnya yang menahan sakit sebelum mati.
Kubiarkan polisi membawaku, lebih baik aku hidup di penjara dari pada harus hidup di dunia luar yang penuh kenistaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar