Halaman

Selasa, 19 November 2013

Makam Tak Bernama

Makam Tak Bernama

  karya :Fauzy Rahmat.
fb : Fauzy Rahmat.
Rumah tua nan lusuh itu selalu terlihat sepi, hanya perkarangannya saja yang diramaikan dedaun kering yang dimainkan angin. Sebuah keluarga menghuni rumah itu semenjak 2 tahun silam, jumlah mereka 4 orang, suami istri dan 2 orang anak perempuan. Mereka selalu keluar saat subuh hingga sore, namun tak ada yang mengerti apa yang mereka kerjakan. Mereka tak pernah berinteraksi dengan warga sekitar. Jarak dengan rumah warga paling dekat sekitar 50 meter.

Pak Syahril tetangga terdekat rumah itu, kerap mendengarkan suara-suara aneh, serta bayangan-bayangan aneh yang selalu berkelebat di sekitar rumah itu. Rumah itu memiliki pagar kayu disekitar terasnya, dengan pintu utama yang terletak di tengah serta dua buah jendela disisi kanan dan kiri. Sebatang pohon nangka besar tumbuh di pekarangannya, membuat kesan mistik di rumah itu semakin kental. Setiap malam Pak Syahril kerap mendengar rumah itu bergemuruh seperti tengah terjadi gempa. Pohon Nangka besar itupun kerap bergoyang sendiri walau tak ada angin.

"Pak ... bangun, Pak. Ada yang gedor-gedor pintu," Istri Pak Syahril mengguncang tubuh suaminya.
"Siapa, Bu?" Sahut Pak Syahril setengah berbisik.
"Ayuk kita lihat dulu, Pak. Aku takut kalau itu orang jahat," ujar istrinya berbisik.
Perlahan mereka berdua berjalan menuju pintu, Pak Syahril sudah siap dengan sebuah balok di tangan kanannya. Saat pintu dibuka, tak ada siapapun yang mereka temui, hanya keheningan malam dan beberapa suara hewan malam yang mereka dengar.
"Gak ada orang, Pak," ujar Aminah kepada suaminya.
"Ya sudahlah, Bu, mungkin hanya suara angin saja." Sahut suaminya pelan. Saat Aminah hendak menutup pintu, matanya melirik ke arah ayunan pada pohon Nangka itu berayun tanpa dorongan angin. Lama dia terpaku sampai akhirnya sosok bergaun putih berpadu warna merah dengan design pakaian Noni Belanda, berayun ria dengan rambut panjang nan tergerai terbawa angin.
"Pak, i ... itu si ... apa?" Aminah terbata-bata menunjukkan sosok itu pada suaminya.
"Aku tidak tahu, Bu. Mungkin anak pemilik rumah itu,"
"Tapi, kenapa tengah malam dia berayun? Lagi pula setahu aku, anak pemilik rumah itu masih kecil,"
"Lalu siapa ya, Bu?" Pak Syahril balik bertanya.
Sosok itu berhenti berayun lalu menatap kedua suami istri itu dengan senyuman. Sedang Pak Syahril dan Aminah hanya terpaku dan tersenyum kelu membalas senyuman sosok itu. Wajahnya cantik khas Noni Belanda, rambut yang panjang semampai tergeletak indah di punggungnya. Dari jarak yang tak begitu jauh, pun tak dekat, terlihat jelas senyumnya yang menawan hingga ketakutan kedua suami istri itupun sirna. Gadis itu melambaikan tangannya mengajak Pak Syahril dan istrinya untuk mendekat, tanpa ragu mereka mengikuti ajakan sang gadis.
Saat mereka sampai di bawah pohon itu, wajah sang Noni berubah pilu, dengan tangis yang tersedu-sedu dia menunjuk bawah pohon itu. Pak Syahril dan istrinya hanya bingung tak mengerti maksud Noni itu.
"Help me, ik vermoord en begraven op deze plaats. Haal me hier," ucap Noni itu dengan bahasa asing, Pak Syahril dan istrinya semakin bingung.
"Pak, mungkin dia ingin kita menggali tempat itu," ucap Aminah.
"Darimana ibu tau?"
"Entahlah, Pak. Ibu hanya merasa dia ingin kita menemukan sesuatu di bawah itu,"
"Baiklah, ayo kita coba gali, Bu." Pak Syahril pun mulai mengais tanah itu dengan tangannya. Sang Noni tersenyum kepada Aminah yang sudah mengerti maksudnya. Namun naas, seketika ada sesuatu yang membekap mulut mereka berdua dengan obat bius. Mereka pun pingsan.
Kalian telah lancang masuk ke wilayah kami," ujar seorang lelaki tengah duduk menghadap Pak Syahril dan Aminah yang tengah terikat.
"Siapa kamu?" Sahut Pak Syahril.
"Aku pemilik rumah ini, untuk apa kalian kemari, heh? ingin membongkar makam Noni itu?" ujar pria itu sinis. Bajunya yang serba hitam, sangat serasi dengan wajahnya yang tirus dan mata yang cekung. Dengan memegang sebilah pisau, dia menyeringai.
"Kami tak bermaksud begitu, kami pun tak mengerti bahwa itu adalah sebuah makam," sahut Pak Syahril.
"Asal kalian tahu, selama makam Marylin tidak ada yang mengusik, aku akan abadi di dunia ini. Dan kalian sudah mengetahui semua ini. Jadi, tak ada alasan lagi kalian tetap hidup," Pria itu mendekati Aminah dengan mengacung-acungkan pisaunya.
"Tolong lepaskan kami, kami tak akan memberitahu siapapun," ujar Aminah. Namun rambutnya dijambak paksa oleh seseorang hingga kepalanya mendongak ke atas.
"Vaarwel," ujar pria itu dingin.
Syuutt!
Darah kental muncrat dari leher Aminah, badannya menggelepar tertahan dengan raungan parau dari lehernya yang tergorok. Syahril meronta-ronta hendak menghentikan penjagalan terhadap istrinya. Penerangan ala kadar dàlam ruangan itu, memperlihatkan detik-detik kematian Aminah yang menyayat hati. Syahril tak mampu berbuat apa-apa hingga akhirnya kepala Aminah putus.
"Biadab kau! Lepaskan aku, Bajingan!!!" ronta Syahril. Pria itu hanya tersenyum sinis dengan menjilati pisau itu. Kepala Syahril pun ditarik paksa. Tampak olehnya sang Noni menatapnya sayu saat kepalanya mendongak, hingga dirasakannya sayatan yang begitu perih dan cairan kental membanjiri bajunya. Akhirnya dia pun diam. Mati.
Foto: Makam Tak Bernama

Posted by: Fauzy Rahmat. 

Rumah tua nan lusuh itu selalu terlihat sepi, hanya perkarangannya saja yang diramaikan dedaun kering yang dimainkan angin. Sebuah keluarga menghuni rumah itu semenjak 2 tahun silam, jumlah mereka 4 orang, suami istri dan 2 orang anak perempuan. Mereka selalu keluar saat subuh hingga sore, namun tak ada yang mengerti apa yang mereka kerjakan. Mereka tak pernah berinteraksi dengan warga sekitar. Jarak dengan rumah warga paling dekat sekitar 50 meter. 

Pak Syahril tetangga terdekat rumah itu, kerap mendengarkan suara-suara aneh, serta bayangan-bayangan aneh yang selalu berkelebat di sekitar rumah itu. Rumah itu memiliki pagar kayu disekitar terasnya, dengan pintu utama yang terletak di tengah serta dua buah jendela disisi kanan dan kiri. Sebatang pohon nangka besar tumbuh di pekarangannya, membuat kesan mistik di rumah itu semakin kental. Setiap malam Pak Syahril kerap mendengar rumah itu bergemuruh seperti tengah terjadi gempa. Pohon Nangka besar itupun kerap bergoyang sendiri walau tak ada angin. 

"Pak ... bangun, Pak. Ada yang gedor-gedor pintu," Istri Pak Syahril mengguncang tubuh suaminya. 
"Siapa, Bu?" Sahut Pak Syahril setengah berbisik. 
"Ayuk kita lihat dulu, Pak. Aku takut kalau itu orang jahat," ujar istrinya berbisik.
Perlahan mereka berdua berjalan menuju pintu, Pak Syahril sudah siap dengan sebuah balok di tangan kanannya. Saat pintu dibuka, tak ada siapapun yang mereka temui, hanya keheningan malam dan beberapa suara hewan malam yang mereka dengar. 
"Gak ada orang, Pak," ujar Aminah kepada suaminya. 
"Ya sudahlah, Bu, mungkin hanya suara angin saja." Sahut suaminya pelan. Saat Aminah hendak menutup pintu, matanya melirik ke arah ayunan pada pohon Nangka itu berayun tanpa dorongan angin. Lama dia terpaku sampai akhirnya sosok bergaun putih berpadu warna merah dengan design pakaian Noni Belanda, berayun ria dengan rambut panjang nan tergerai terbawa angin. 
"Pak, i ... itu si ... apa?" Aminah terbata-bata menunjukkan sosok itu pada suaminya. 
"Aku tidak tahu, Bu. Mungkin anak pemilik rumah itu," 
"Tapi, kenapa tengah malam dia berayun? Lagi pula setahu aku, anak pemilik rumah itu masih kecil," 
"Lalu siapa ya, Bu?" Pak Syahril balik bertanya. 
Sosok itu berhenti berayun lalu menatap kedua suami istri itu dengan senyuman. Sedang Pak Syahril dan Aminah hanya terpaku dan tersenyum kelu membalas senyuman sosok itu. Wajahnya cantik khas Noni Belanda, rambut yang panjang semampai tergeletak indah di punggungnya. Dari jarak yang tak begitu jauh, pun tak dekat, terlihat jelas senyumnya yang menawan hingga ketakutan kedua suami istri itupun sirna. Gadis itu melambaikan tangannya mengajak Pak Syahril dan istrinya untuk mendekat, tanpa ragu mereka mengikuti ajakan sang gadis. 
Saat mereka sampai di bawah pohon itu, wajah sang Noni berubah pilu, dengan tangis yang tersedu-sedu dia menunjuk bawah pohon itu. Pak Syahril dan istrinya hanya bingung tak mengerti maksud Noni itu.
"Help me, ik vermoord en begraven op deze plaats. Haal me hier," ucap Noni itu dengan bahasa asing, Pak Syahril dan istrinya semakin bingung. 
"Pak, mungkin dia ingin kita menggali tempat itu," ucap Aminah. 
"Darimana ibu tau?" 
"Entahlah, Pak. Ibu hanya merasa dia ingin kita menemukan sesuatu di bawah itu," 
"Baiklah, ayo kita coba gali, Bu." Pak Syahril pun mulai mengais tanah itu dengan tangannya. Sang Noni tersenyum kepada Aminah yang sudah mengerti maksudnya. Namun naas, seketika ada sesuatu yang membekap mulut mereka berdua dengan obat bius. Mereka pun pingsan.
Kalian telah lancang masuk ke wilayah kami," ujar seorang lelaki tengah duduk menghadap Pak Syahril dan Aminah yang tengah terikat. 
"Siapa kamu?" Sahut Pak Syahril. 
"Aku pemilik rumah ini, untuk apa kalian kemari, heh? ingin membongkar makam Noni itu?" ujar pria itu sinis. Bajunya yang serba hitam, sangat serasi dengan wajahnya yang tirus dan mata yang cekung. Dengan memegang sebilah pisau, dia menyeringai. 
"Kami tak bermaksud begitu, kami pun tak mengerti bahwa itu adalah sebuah makam," sahut Pak Syahril. 
"Asal kalian tahu, selama makam Marylin tidak ada yang mengusik, aku akan abadi di dunia ini. Dan kalian sudah mengetahui semua ini. Jadi, tak ada alasan lagi kalian tetap hidup," Pria itu mendekati Aminah dengan mengacung-acungkan pisaunya. 
"Tolong lepaskan kami, kami tak akan memberitahu siapapun," ujar Aminah. Namun rambutnya dijambak paksa oleh seseorang hingga kepalanya mendongak ke atas. 
"Vaarwel," ujar pria itu dingin. 
Syuutt! 
Darah kental muncrat dari leher Aminah, badannya menggelepar tertahan dengan raungan parau dari lehernya yang tergorok. Syahril meronta-ronta hendak menghentikan penjagalan terhadap istrinya. Penerangan ala kadar dàlam ruangan itu, memperlihatkan detik-detik kematian Aminah yang menyayat hati. Syahril tak mampu berbuat apa-apa hingga akhirnya kepala Aminah putus. 
"Biadab kau! Lepaskan aku, Bajingan!!!" ronta Syahril. Pria itu hanya tersenyum sinis dengan menjilati pisau itu. Kepala Syahril pun ditarik paksa. Tampak olehnya sang Noni menatapnya sayu saat kepalanya mendongak, hingga dirasakannya sayatan yang begitu perih dan cairan kental membanjiri bajunya. Akhirnya dia pun diam. Mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar