Kota Solo (Surakarta) merupakan sebuah kota tua yang berumur lebih dari
260 tahun yang sarat dengan peristiwa sejarah bagi bangsa Indonesia.
Sebut saja peristiwa lahirnya Serikat Islam pada 1911, di mana saat itu
reaksi wong Solo bergolak atas campur tangan ekonomi kolonial.
Kemudian, peristiwa pemberontakan faham komunis yang dipimpin Haji
Mizbah yang bisa menguasai kereta api pada 1924.
Dalam konteks Kota Solo, kelahiran kota ini sendiri merupakan peristiwa
sejarah yang ditandai perpindahan keraton dari Kartasura ke Desa Sala.
Pemilihan lokasi dibangunnya Keraton Surakarta sendiri bermakna bagi
eksistensi kerajaan. Konsep ‘kutaraja’ yang dikelilingi benteng
Baluwarti dihadirkan di lokasi yang awalnya pusat perdagangan Bengawan
Solo, mengingat di sana ada pertemuan sejumlah sungai yang waktu itu
merupakan sarana transportasi perdagangan.
Awalnya, lokasi dibangunnya keraton berupa kedung, dan merupakan
pertemuan sejumlah sungai. Ada Sungai Batangan yang bertemu dengan
Sungai Tempuran. Lalu, Sungai Laweyan atau Banaran yang bertemu dengan
Sungai Batangan. Sementara dari arah selatan ada Sungai Wingko dan dari
utara ada Sungai Pepe.
Beberapa kitab Jawa, baik dalam Babad Giyanti (1916, I), Babad Kartasura
Pacinan (1940), maupun Babad Tanah Jawi (1941), kisah perpindahan
Keraton dari Kartasura ke Surakarta hampir seragam. Ketika Sunan Paku
Buwono II (1726–1749) kembali dari Ponorogo, (1742), ia menyaksikan
kehancuran bangunan istana. Rusaknya bangunan istana itu disebabkan ulah
dari para pemberontak Cina. Bagi Sunan, keadaan tersebut mendorong
niatnya untuk membangun sebuah istana yang baru.
Kemudian, ia mengusulkan kepada para para punggawa kerajaan untuk
membangun sebuah istana baru. Patih R Ad Pringgalaya dan beberapa
bangsawan diajak berembug tentang rencana itu. Paku Buwono II
berkeinginan membangun istana baru di tempat yang baru. Ia menghendaki,
istana yang baru itu berada di sebelah timur istana lama, dekat dengan
sungai Bengawan Sala. Hal ini dilakukan di samping untuk menjauhi
pengaruh para pemberontak yang mungkin masih bersembunyi di kartasura,
juga untuk menghapus kenangan buruk kehancuran istana Kartasura.
Akhirnya, Sunan mengutus utusan yang terdiri dari ahli negara, pujangga
dan ahli kebatinan untuk mencari tempat yang cocok bagi pembangunan
istana baru. Utusan itu terdiri dari Mayor Hohendorp, Adipati
Pringgalaya, dan Adipati Sindurejo (masing-masing sebagai Patih Jawi
’Patih Luar’ dan Patih Lebet ‘Patih Dalam’), serta beberapa orang
bupati.
Utusan itu diikuti juga oleh abdi dalem ahli nujum, Kyai T Hanggawangsa,
RT Mangkuyuda, dan RT Puspanegara. Singkat cerita, mereka mendapatkan
tiga tempat yang dianggap cocok untuk dibangun istana, yaitu Desa
Kadipala, Desa Sala, dan Desa Sana Sewu.
Setelah diadakan musyawarah, para utusan akhirnya memilih Desa Sala
sebagai calon tunggal untuk tempat pembangunan istana baru, dan
keputusan ini kemudian disampaikan kepada Sunan di Kartasura. Setelah
Sunan menerima laporan dari para utusan tersebut, kemudian memerintahkan
beberapa orang abdi dalem untuk meninjau dan memastikan tempat itu.
Utusan itu adalah Panembahan Wijil, Abdi Dalem Suranata, Kyai Ageng
Khalifah Buyut, Mas Pangulu Fakih Ibrahim, dan Pujangga istana RT
Tirtawiguna (Tus Pajang, 1940:19-21).
Sesampainya di desa Sala, utusan tersebut menemukan suatu tempat yang
tanahnya berbau harum, maka disebut Desa Talangwangi (tala=tanah;
wangi=harum), terletak di sebelah barat laut desa Sala (sekarang menjadi
kampung Gremet). Setelah tempat tersebut diukur untuk calon lokasi
istana, ternyata kurang luas, maka selanjutnya para utusan melakukan
“samadhi” (bertapa) untuk memperoleh ilham (“wisik”) tentang cocok atau
tidaknya tempat tersebut dijadikan pusat istana. Mereka kemudian bertapa
di Kedhung Kol (termasuk kampung Yasadipuran sekarang).
Setelah beberapa hari bertapa, mereka memperoleh ilham bahwa desa Sala
sudah ditakdirkan oleh Tuhan menjadi pusat kerajaan baru yang besar dan
bertahan lama (Praja agung kang langgeng). Ilham tersebut selanjutnya
memberitahukan agar para utusan menemukan Kyai Gede Sala (sesepuh desa
Sala). Orang itulah yang mengetahui ‘sejarah’ dan cikal bakal desa Sala .
Perlu diketahui, bahwa nama Kyai Gede Sala berbeda dengan Bekel Ki Gede
Sala, seorang bekel yang menepalai desa Sala pada jman Pajang. Sedang
Kyai Gede Sala adalah orang yang mengepalai desa Sala pada jaman
kerajaan Mataram Kartasura (Pawarti Surakarta, 1939:6-7).
Selanjutnya Kyai Gede Sala menceritakan tentang desa Sala sebagai
berikut. Ketika jaman Pajang, salah seorang putera Tumenggung Mayang,
Abdi Dalem kerajaan Pajang, bernama Raden Pabelan, dibunuh di dalam
istana, sebaba ketahuan bermain asmara dengan puteri Sekar Kedaton atau
Ratu Hemas, puteri Sultan Hadiwijaya, raja Pajang (Atmodarminto,
1955:83; Almanak Cahya Mataram, 1921:53; Dirjosubrata, 1928:75-76).
Selanjutnya mayat raden Pabelan dihanyutkan (dilarung) di sungai Lawiyan
(sungai Braja), hanyut dan akhirnya terdampar di pinggir sungai dekat
Desa Sala. Bekel Kyai Sala yang saat itu sebagai penguasa Dsa Sala, pagi
hari ketika ia pergi kesungai melihat mayat. Kemudian mayat itu
didorong ke tengah sungai agar hanyut. Memang benar, mayat itu hanyut
dibawa arus air sungai Braja.
Pagi berikutnya, kyai Gede Sala sangat heran karena kembali menemukan
mayat tersebut sudah di tempatnya semula. Sekali lagi mayat itu
dihanyutkan ke sungai. Namun anehnya, pagi berikutnya peristiwa
sebelumnya berulang lagi. Mayat itu kembali ke tempat semula, sehingga
Kyai Gede Sala menjadi sangat heran. Akhirnya ia maneges, minta petunjuk
Tuhan Yang Maha Kuasa atas peristiwa itu. Setelah tiga hari tiga malam
bertapa, Kyai Gede Sala mendapat ilham atau petunjuk. Ketika sedang
bertapa, seakan-akan ia bermimpi bertemu dengan seorang pemuda gagah.
Pemuda itu mengatakan, bahwa dialah yang menjadi mayat itu dan mohon
dengan hormat kepada Kyai Gede Sala agar dia dikuburkan di situ.
Namun sayang, sebelum sempat menanyakan tempat asal dan namanya, pemuda
itu telah raib/menghilang. Akhirnya Kyai Gede Sala menuruti permintaan
pemuda tersebut, dan mayatnya dimakamkan di dekat desa Sala. Karena
namanya tidak diketahui, maka mayat itu desebut Kyai Bathang
(bathang=mayat). Sedangkan tempat makamnya disebut Bathangan (makam itu
sekarang berada di kawasan Beteng Plaza, Kelurahan Kedung Lumbu). Dengan
adanya Kyai Bathang itu, desa Sala semakin raharja (Sala=raharja_,
kehidupan rakyatnya serba kecukupan dan tenang tenteram (Roorda,
1901:861).
Demikian cerita singkat Kyai Gede Sala. Kuburan itu terletak di tepi
rawa yang dalam dan lebar. Keadaan ini kemudian oleh para utusan
dilapokan kepada Sunan di Kartasura.
Sesudah Sunan Paku Buwana II menerima laporan, maka segera memerintahkan
kepada Kyai Tohjaya dan Kyai Yasadipura (I), serta RT. Padmagara, untuk
mengupayakan agar desa Sala dapat dibangun istana baru. Ketigautusan
tersebut kemudian pergi ke desa Sala. Sesampainya di desa Sala, mereka
berjalan mengelilingi rawa-rawa yang ada disekeliling desa Sala.
Akhirnya, mereka dapat menemukan sumber Tirta Amerta Kamandanu (air
kehidupan, sumber mata air). Hal itu dilaporkan kepada Sunan, dan
kemudian Sunan memutuskan bahwa desa Sala-lah yang akan dijadikan pusat
istana baru. Sunan segera memerintahkan agar pembangunan istana segera
dimulai. Atas perintah Sunan, seluruh Abdi Dalem dan Sentana dalem
membagi tugas: Abdi Dalem mancanegara Wetan dan Kilen dimintai
balok-balok kayu, jumlahnya tergantung pada luas wilayahnya. Balok-balok
kayu tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam rawa di desa Sala sampai
penuh. Meskipun demikian belum dapat menyumbat mata air rawa tersebut,
bahkan airnya semakin deras.
Sanadyan kelebetana sela utawi balok ingkang ageng-ageng ngantos
pinten-pinten ewu, meksa mboten saget pampet, malah toya saya ageng
ambalaber pindha samodra.(Tus Pajang, 1940:24-25).
(Walaupun diberi batu ataupun balok-balik kayu yang besar-besar sampai
beribu-ribu banyaknya, terpaksa tidak dapat tertutup, bahkan keluarnya
air semakin besar dan menyeruap bagaikan samudra).
Bahkan lebih mengherankan lagi, dari sumber air tersebut keluar berbagai
jenis ikan yang biasa hidup di air laut (teri pethek, dsb). Menyaksikan
kejadian itu, Panembahan Wijil dan Kyai Yasadipura bertapa selama tujuh
hari tujuh malam tanpa makan dan tidur. Akhirnya pada malam hari
Anggara Kasih (Selasa Kliwon) Kyai Yasadipura mendapatkan ilham sebagai
berikut:
He kang padha mangun pujabrata, wruhanira, telenging rawa iki ora
bisa pampet amarga dadi tembusaning samodra kidul. Ewadene yen sira
ngudi pampete, kang dadi saranane, tambaken Gong Kyai Sekar Dlima
godhong lumbu, lawan sirah tledhek, cendhol mata uwong, ing kono bisa
pampet ponang teleng. Ananging ing tembe kedhung nora mili nora pampet,
langgeng toyanya tan kena pinampet ing salawas-lawase (Pawarti Surakarta, 1939:7).
(Hai, kalian yang bertapa, ketahuilah, bahwa pusat rawa ini tidak dapat
ditutup, sebab menjadi tembusannya Lautan Selatan. Namun demikian bila
kalian ingin menyumbatnya gunakan cara: gunakan Gong Kyai Sekar Delima,
daun lumbu (talas), dan kepala ronggeng, cendol mata orang, disitulah
pasti berhenti keluarnya mata air. Akan tetapi besok kenghung itu tidak
akan mengalir, tetapi juga tidak berhenti mengeluarkan air, kekal tidak
dapat disumbat selama-lamanya).
Penerimaan ilham tersebut terjadi pada hari Anggara Kasih (Selasa
Kliwon) tanggal 28 Sapar, Jimawal 1669 (1743 Masehi) (Yasadipura II,
1916: 17-18). Segala kejadian tersebut kemudian dilaporkan kepada Sunan
di Kartasura. Sunan sangat kagum mendengar laporan tersebut dan setelah
berpikir keras akhirnya Sunan bersabda:
Tledhek iku tegese ringgit saleksa. Dene Gong Sekar Dlima tegese
gangsa, lambe iku tegese uni. Dadi watake bebasan kerasan. Gong Sekar
Delima, dadi sekaring lathi, ingkang anggambaraken mula bukane nguni iku
Kyai Gede Sala. Saka panimbang iku udanegarane kabener anampi sesirah
tledhek arta kehe saleksa ringgit (cendhol mata uwonng), mangka liruning
kang dadi wulu wetuning desa tekan ing sarawa-rawa pisan (Pawarti Surakarta, 1939:8).
“Tledhek” berarti sepuluh ribu ringgit. Gong Sekar Delima berarti
“gangsa”, bibir atau ujar (perkataan). Jadi bersifat perumpamaan. Gong
Sekar Delima menjadi buah bibir yang menggambarkan asal mula/cikal bakal
(desa) yaitu Kyai Gede Sala. Atas pertimbangan itu sepantasnya menerima
ganti uang sebanyak sepuluh ribu ringgit. Sebagai ganti rugi
penghasilan desa beserta rawa-rawanya.
Demikian akhirnya Kyai Gede Sala memperoleh ganti rugi sebesar sepuluh
ribu ringgit (saleksa ringgit) dari Sunan. Selanjutnya Kyai Gede Sala
bertapa di makam Kyai Bathang. Di dalam bertapa itu Kyai Gede Sala
memperoleh “Sekar Delima Seta” (putih) dan daun lumbu (sejenis daun
talas). Kedua barang tersebut dimasukkan ke dalam sumber mata air (Tirta
Amerta Kamandanu). Sesudah itu dilakukan kerja bhakti (gugur gunung)
menutup rawa. Akhirnya pekerjaan itu selesai dengan cepat. Penghuninya
dipindahkan dan dimukimkan kembali di tempat lain (“wong cilik ing desa
Sala kinen ngalih marang ing desa Iyan sami”). Kemudian pembangunan
dimulai dengan menguruk tanah yang tidak rata dan dibuat gambar awal
dengan mengukur panjang dan lebarnya (“ingkur amba dawane”). Puluhan
ribu (leksan) buruh bekerja di proyek pembangunan itu. Dinding-dinding
pertama dibangun dari bambu karena waktunya mendesak. Adapun desain
umumnya mencontoh model Karaton Kartasura (“anelad Kartasura”) (Lombard,
III: 109).
Mengapa pilihan jatuh di Desa Sala, ada beberapa alasan yang dapat
diajukan, baik dilihat secara wadhag atau fisik-geografis maupun alasan
magis-religius. Desa Sala letaknya dekat dengan Bengawan Sala, yang
sejak lama mempunyai arti penting dalam hubungan sosial, ekonomi,
politik, dan militer antara Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sebuah sumber menyebutkan, Bengawan Sala atau atau Bengawan Semanggi
mempunyai 44 bandar (Fery Charter abad ke-14), salah satunya bernama
Wulayu atau Wuluyu atau sama dengan desa Semanggi (bandar ke-44). Dalam
Serat Wicara Keras disebutkan, Bengawan Sala sebagai Bengawannya orang
Semanggi (bandingkan dengan Babad Tanah Jawi).
Alasan lainnya, di desa Sala cukup tenaga kerja untuk membuat Karaton
karena dikelilingi oleh desa Semanggi, Baturana, dan Babudan (dua desa
yang terakhir merupakan tempat Abdi Dalem pembuat babud permadani pada
jaman Kartasura). Desa Sala sendiri zaman Padjang dibawah bekel Kyai
Sala. Alasan politis juga dapat dimasukkan, terutama dalam menjaga
kepentingan VOC. Untuk mengawasi Mataram maka VOC membangun benteng di
pusat kota Mataram yang mudah dijangkau dari Semarang sebagai pintu
gerbang ke pedalaman.
Sementara itu terdapat sejumlah alasan magis-religius seperti berikut
ini. Pertama, desa Sala terletak di dekat tempuran, yaitu bertemunya
Sungai Pepe dan Bengawan Sala. Tempuran merupakan tempat magis dan
sakral. Dismping itu, kata Sala atau Qala dihubungkan dengan bangunan
suci. Kata itu berarti ruangan atau bangsal besar dan telah
disebut-sebut dalam OJO no. XLIII (920) dengan istilah Kahyunan. Di Qala
tedapat sekolah Prahunan (sekarang kampung praon) di dekat muara Sungai
Pepe, yang artinya bangunan suci di Hemad (I Hemad atau Ing Hemad, Ing
Gemad = Gremet). “Ning peken ri hemad”, artinya di pasar ngGremet,
tempat dilakukan upacara penyumpahan mendirikan tempat swatantra
perdikan di Sala.
Pembangunan Karaton segera dimulai setelah rawa-rawa berhasil
dikeringkan dan tempatnya dibersihkan. Untuk mengurug Karaton, tanahnya
diambil dari desa Talawangi. (dalam sebuah sumber lain disebutkan,
“hawit iku pada kalebu hing jangka, sak mangsa-mangsa ndandani Kadaton
bakal njupuk hurug lemah Kadipala (Tetedakan sangking Buk Ha: Ga, Sana
Pustaka). Jadi tanah Talawangi dan tanah Sala kedua-duanya dipakai untuk
pembangunan Karaton. Karaton telah berdiri meskipun belum dipagari batu
dan baru dari bambu (jaro bethek). Sirnaning Resi Rasa Tunggal (1670)
menandai saat pengerjaan Karaton selesai, meskipun nampak tergesa-gesa. (heriyono)
Berebut Tahta Kerajaan
PascaSunan Pakubuwono XII ‘mangkat’ beberapa waktu lalu (11
Juni 2004), terjadi perebutan kekuasaan ‘siapa yang berhak menjadi
raja’. Peristiwa perebutan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom
Amangkunegoro Sudibyo Raja Putra Narendra Mataran VIII atau disingkat
Paku Buwono XIII, membuat kalangan kerajaan terpecah menjadi dua bagian,
yakni antara pendukung Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi
dan KGPH Tedjowulan.
Keduanya merasa mempunyai hak untuk menduduki tahta kerajaan. Peristiwa
ini secara tidak langsung mengingatkan masyarakat Indonesia dengan
‘sejarah kelam’ yang terjadi pada 1755 lampau. Saat itu, terjadi
peristiwa Perjanjian Giyanti yang memecah Dinasti Kerajaan Mataram
menjadi dua bagian, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat.
Dahulu, perpecahan (perebutan kekuasaan) selalu dikaitkan dengan politik memecah belah atau devide et impera
penjajah Belanda yang ingin menancapkan kekuasaan di Tanah Jawa. Namun,
saat ini sulit dipungkiri, perpecahan didorong nafsu berkuasa para elit
Kasunanan Surakarta.
Menurut beberapa kalangan, rebutan tahta ini sebenarnya tak akan terjadi
kalau saja Paku Buwono XII mengangkat permaisuri. Sehingga, secara
langsung putra mahkota adalah anak sulung dari permaisuri. Namun, semasa
hidupnya, Paku Buwono XII hanya memiliki garwa ampil atau selir dengan
37 anak. Sejarawan Sumanto dalam suatu kesempatan mengatakan, alasan
Paku Buwono XII tidak berpermaisuri bisa jadi karena Kasunanan Surakarta
lebih berfungsi sebagai wilayah kebudayaan. Di luar kompleks keraton,
kekuasaan raja tidaklah dominan.
KGPH Hangabehi adalah putra tertua Paku Buwono XII dari selir ketiga
Gusti Raden Ayu (GRAy) Pradapaningrum. Karena itulah, Hangabehi merasa
dirinyalah yang berhak memangku tahta kerajaan. Sementara itu, keluarnya
Surat Keputusan Nomor Kep/01/2003 dari tiga pengageng, yakni Pengageng
Parentah Keraton, Pengageng Putrasentana, dan Pengageng Parentah
Kaputren, mengangkat KGPH Tedjowulan sebagai penerus tahta kerajaan
Keraton Surakarta.
Menurut versi KGPH Hangabehi, kapasitasnya sebagai putra lelaki tertua,
berhak menjadi pengganti Paku Buwono XII. Karena menurut pandangan pihak
Hangabehi, jika tidak ada putra mahkota atau putra yang ditunjuk secara
langsung oleh raja pendahulu, maka putra lelaki tertualah yang berhak
menjadi raja.
Di sisi lain KGPH Tedjowulan juga menganggap memiliki hak yang sama,
karena telah diangkat oleh tiga pengageng Keraton. Menurut pandangan
pihak Tedjowulan, bila tidak ada putra mahkota, maka tiga lembaga resmi
keraton inilah yang berhak menentukan pengganti raja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar