- Tapa Berakhir Derita -
karya : Fauzy Rahmat & Ana Sue
fb : Fauzy Rahmat
fb : Ana Sue
"Tinggal beberapa hari lagi, aku akan lepas dari ini semua. Aku pasti
bisa! Aku lelah seperti ini terus." Guman Nanjar terduduk di teras rumah
Anjungnya. Tak ada siapapun di rumah itu selain dirinya, orang tuanya
telah lama meninggal, sedangkan adik kecilnya di asuh oleh orang kaya.
Kesehariannya mengurus ladang pada tanah sepetak yang ditinggalkan
orang tuanya, penghasilan yang tak seberapa ditambah kebiasaannya yang
bermain judi, membuatnya terlilit hutang di mana-mana.
Belum
lagi di usia yang sudah cukup matang dan seharusnya memiliki seseorang
yang mengurusnya, justru ia belum menemukan tambatan hatinya.
Keseluruhan masalah yang ada membuatnya seolah dikejar masalah yang tak
berkesudahan.
Nanjar berharap ia bisa lebih tenang menghadapi semuanya.
Bisa sedikit menikmati ketenangan batin. Malam Satu Suro adalah waktu
yang tepat, malam yang diyakini para tetua di desanya itu sebagai malam
Ketenangan. Juga malam kramat.
Sehari menjelang malam itu, Nanjar sempat bertanya pada Mbah Sugiran, orang tua yang tinggal tak jauh dari gubuknya.
Mbah Sugiran merupakan sesepuh yang cukup memiliki nama dikampungnya.
Ia tak hanya pintar dalam hal-hal mistis namun ia pun pandai dalam hal
medis, banyak warga kampung yang meminta bantuan padanya, termasuk
Nanjar.
Malam itu sebelum Satu Suro Nanjar bertandang kerumah Mbah Sugiran.
'Tok ... Tok ...' suara pintu terketuk dari luar.
"Assalammu'alaikum," ujar Nanjar pelan. Seketika pintu terbuka dan
terlihat sosok lelaki renta tengah berdiri dibantu sebuah tongkat
berukir. Beliau mempersilahkan Nanjar masuk. Wajahnya nan tirus keriput,
membuat orang yang belum kenal beliau bergidik ngeri, walau
sesungguhnya beliau orang yang ramah.
"Ngapunten, Mbah, nak kulo ganggu, (maaf, Mbah, kalau saya mengganggu,)" ujar Nanjar.
"Ra po-po, Njar. Enek masalah opo meneh?" Sahut Mbah Sugiran seakan mengerti maksud hati Nanjar.
"Kulo jaluk tulung, Mbah. Malem Suro kie kulo ajeng topo, apik e nyang
pundi, Mbah? (Saya minta tolong, Mbah. Malam Suro ini aku mau tapa,
bagusnya di mana, Mbah?)"
"Nang kulon deso ki enek bukit, tho?
Mburine bukit kae enek goa sing kebuka e gur malem Suro, (Di barat desa
ada bukit, kan? Belakang bukit itu ada goa yang terbuka hanya pada
malam Suro,)" jelas Mbah Sungiran.
"Syarat e pripun, Mbah? (Syaratnya bagaimana, Mbah?)"
"Lingsir wengi iki koe kudu mandi kembang, resik i awakmu lan hatimu,
eling lan waspodo. Tekan kono, enek watu pipih koe topo nang kono. Ra
oleh gerak tekan esuk, enek gangguan ra sah mbok gagas, (Tengah malam
ini kamu harus mandi kembang, bersihkan badan dan hatimu, ingat dan
waspada. Sampai di sana ada batu pipih, kamu tapa di sana. Tidak boleh
gerak sampai pagi, ada gangguan jangan kamu hiraukan,)" jelas Mbah
Sugiran.
"Gangguan e nopo mawon, Mbah? (Gangguannya apa saja, Mbah?)" Nanjar penasaran.
"Neng lawang goa kui enek sing jogo buto ijo. Ngko nak ditakon, ngomong
o arep tirakat. Gangguan e akeh, ngko koe mesti ngerti dewe. (Di pintu
gua itu ada Buto Ijo yang jaga. Jika ditanya, bilang saja ingin tirakat.
Gangguannya banyak, nanti kamu pasti tahu sendiri.)"
***
Keesokan paginya, Nanjar pun mulai menyiapkan seluruh peralatan yang
akan dibawanya untuk menjalankan tapa. Dia menyiapkan kembang tujuh
rupa, kemenyan, dan mempersiapkan diri agar siap menjalankan puasa
selagi dalam pertapaan.
Nanjar pun berangkat dengan persiapan
matang. Hatinya begitu riang, sepanjang perjalanan dia bersiul. "Aku
pasti kuat menjalankannya. Seorang Nanjar tak mungkin kalah."
Tiga
jam perjalanan ditempuhnya. Tak dihiraukannya guyuran air hujan yang
membasahi tubuh. Tak lama kemudian, Nanjar pun sampai ditempat. Jalan
menuju goa yang dikatakan Mbah Sugiran begitu suram dan gelap, meski
hari masih pagi namun suasana di tempat membuat bulu roma siapapun yang
mendatanginya.
Sesaat sebelum Nanjar memasuki goa itu,
tiba-tiba dia dihadang oleh makhluk gaib. Tubuhnya besar dan tinggi
dengan tubuh yang berwarna hijau. "Mau apa kau kemari, Manusia? Apa
urusanmu?" Suaranya menggelegar hingga membuat Nanjar menutup
telinganya.
"Saya ingin Tirakat, izinkan saya masuk," ujar Nanjar sopan.
"Ingat! Pintu ini hanya terbuka hingga lusa. Jangan berbuat tak senonoh, atau kau akan menerima akibatnya!"
"Baik" Nanjar menunduk hormat. Sekejap pintu goa pun terbuka dengan
lebarnya. Gelap, pengap, dan lembab itulah keadaan goa yang dimasuki
Nanjar.
Nanjar meraba-raba dalam gelap hingga dia menemukan
sebuah batu pipih yang tak jauh dari pintu goa, ia pun menempatkan
tubuhnya diatas batu tersebut. Kedua matanya mulai tertutup rapat.
Waktu terus berjalan, hari mulai beranjak sore menuju malam, kicau burung gagak menambah kelam suasana di sekitar goa.
Malam pun tiba, sudah berada diatas kepala, Nanjar masih diam dalam
khusyuk menjalankan tapa. Tiba-tiba seekor ular besar dengan panjang 10
meter dan memiliki tubuh sebesar paha orang dewasa mendekatinya dan
mulai menjalar melilit tubuh Nanjar. Nanjar tetap diam, dia tahu jika
itu adalah godaan yang dimaksud Mbah Sugiran. Lima belas menit lamanya
ular itu melilit tubuh Nanjar, kemudian menghilang.
Tap ...! Tap ...! Tap ...!
Nanjar menajamkan pendengaran. Tampaknya godaan berikut telah datang,
suara langkah kaki yang berderap pelan kembali mengusik Nanjar. Wangi
kembang kenanga tercium menyengat penciuman Nanjar. "Mas ...," lembut
suara seorang wanita memanggilnya.
Nanjar berusaha tak
menghiraukannya. Wanita itu mendekati Nanjar dan duduk tepat di
sampingnya. "Mas, aku temani ya." Wanita itu mendekatkan wajahnya kearah
Nanjar, hembusan nafasnya begitu terasa di leher Nanjar. Wangi yang
keluar dari tubuh wanita itu membuat naluri kejantanannya terusik. Dia
pun membuka kedua matanya, suasana yang gelap berubah menjadi terang
benderang dan dia seperti berada dalam sebuah kamar megah seperti kamar
seorang putri Raja. Dilihatnya seorang wanita cantik bak bidadari sedang
berada di sebelahnya. Wanita itu berdiri, tanpa banyak bicara, dia
melucuti satu persatu pakaian yang dikenakannya. Nanjar hanya menelan
ludah melihat kemolekan tubuh wanita misterius tersebut. Wanita itu
mulai merayu Nanjar, diberinya kecupan-kecupan erotis pada Nanjar.
Nanjar pun lupa diri, dia tak kuasa menahan godaan dari wanita cantik
itu untuk bersetubuh. Desah dan lenguhan tertahan terdengar mengalun
dari mulut keduanya. Setengah jam bergumul, pertarungan pun selesai.
Tanpa diduga dan disangka, perlahan sosok indah dihadapannya mulai
berubah. Sosok itu tak lagi cantik, melainkan menyeramkan. Nanjar
terkejut bukan main. Dari tubuh wanita itu tercium bau busuk dan anyir
darah yang sangat menyengat. "Hihihi ... anak muda, kau tak bisa menolak
godaan! Kau bersetubuh denganku, berarti kau menghantarkan nyawamu
sendiri!"
"A-apa maksudmu wanita iblis!"
"Nyawamu kini menjadi milikku, kau akan mati, anak muda!"
"Aku tak mau mati!," -Nanjar mulai berkeringat ketakutan-, "Aku tak mau, kau menipuku, Iblis!"
"Hahahaha! Nikmatin saja kematianmu yang akan segera menjemput!" Dalam sekejap, wanita itu menghilang.
Nanjar merasakan sesuatu ditubuhnya, alat vitalnya mulai terasa gatal
yang teramat sangat. Nanjar menggaruknya sekuat tenaga, "Akhhh! Gatal
dan panas!" Nanjar benar-benar tak kuat menahan rasa gatal dan panas
yang menyerang senjata pamungkas miliknya. Senjata pamungkas
kebanggaannya mulai mengeluarkan cairan berbau busuk, dan dia pun
melihat jika benda miliknya mulai membusuk, "Aakkkhhhh!!!" Nanah, darah,
dan belatung-belatung menjijikkan keluar dari alat vital miliknya.
Nanjar merasakan seluruh tubuhnya kini seolah tertusuk-tusuk sembilu,
dia mengejang, menggelepar, hingga akhirnya terkapar tak berdaya
Pantangan dari godaan yang seharusnya dihindari telah membuatnya
kehilangan sesuatu yang lebih berharga dari hanya sebuah ketenangan
batin yang diinginkannya melainkan juga kehilangan nyawa satu-satunya.
Malam Satu Suro tak berhasil dilalui Nanjar.
-Tamat -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar